Remaja, Narkoba dan Cita-Cita

lina haryati

13 years ago

post-19
post-19
post-19
post-19

Sejak masih muda hingga saat ini (26 tahun), sudah puluhan fase yang dilalui oleh Johni. Jika mengingat fase-fase itu, Johni mengira bahwa ia terkena skizofrenia atau penyakit semacam itu. "Siapapun pasti setuju bila dikatakan bahwa menjadi orang muda tidaklah segampang dan seenak kelihatannya, " ujar Johni.

Umur sepuluh tahun Johni bercita-cita menjadi guru, lalu insinyur. Tapi cita-cita itu kandas karena kemudian ia tahu bahwa insinyur pun banyak yang nganggur. Pada saat duduk di bangku SMP, Johni bercita-cita menjadi yakuza karena terobsesi tato naga dan film tembak-tembakan yang ditonton bersama teman-temannya. Ketika kelas tiga SMP Johni mulai berpikir untuk meniti karier menjadi assasin, karena kedengarannya keren - lagipula pada tahun 1998 ketika reformasi bergulir, cita-cita menjadi menteri atau seperti BJ Habibie tidaklah relevan.

Saat kawan-kawannya ditanya tentang cita-cita, mereka menjawabnya dengan antusiasme berlebihan. Guru, presiden, insinyur, tentara, PNS, dan karier-karier yang menjanjikan kemapanan. Tapi sepulang sekolah mereka pesta ganja, ke sekolah aja bawa pil BK, setiap bulan kena razia. Johni berpikir saat itu, betapa percumanya punya cita-cita.

Di bangku SMK Johni memutuskan untuk menjadi anak baik-baik. Tidak ikut-ikutan merokok, tidak pacaran, karena masuk Seni Rupa ITB adalah sebuah impian yang memerlukan perjuangan maha dahsyat. Kegagalan masuk ITB, membawa Johni ke petualangan baru yaitu masuk ke dalam kehidupan jalanan kota Bandung. Ternyata sangat mudah mendapatkan satu paket gele (ganja), beli saja di warung rokok. Minuman keras berkeliaran setiap malam minggu. Johni masih ingat, waktu itu topi miring dioplos dengan bir. Kadang anggur putih atau vodka. Lucunya, mereka minum di sebuah lahan kosong tepat di samping Polsek. Kadang anak muda memang seperti kecoak yang punya indera keenam di punggungnya. Langsung tahu jika ada gerakan mencurigakan di seputar tubuhnya.

Johni terjerumus ke dalam pergaulan jalanan, karena faktor frustasi yang ditunjang dengan lingkungan dan pergaulan jalanan. Lingkungan memang merupakan stimulan terhebat. Dan remaja adalah bunglon dengan kemampuan meniru paling jitu. Sayangnya, kemampuan itu tidak disertai dengan filter yang memadai, jadinya cuma ilmu sapi. Ngikut doang tanpa tahu tujuan dan akibatnya.

Remaja dianggap sebagai masa rentan sehubungan banyaknya perubahan yang terjadi pada dirinya (fisik dan emosional). Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mampu mengendalikan dirinya (tidak mengikuti dorongan yang meletup-letup) ternyata lebih bisa terhindar dari masalah narkoba.

Kematangan emosi juga terkait dengan bagaimana mereka mengatasi persoalan yang muncul. Mereka yang mampu menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin ternyata lebih terhindar dari bahaya narkoba.

Membiasakan remaja untuk mampu mengambil keputusan secara rasional dan mandiri merupakan salah satu cara yang sangat disarankan untuk para orang tua.
Hal yang paling menarik yang ditemukan pada penelitian ini adalah jawaban responden terhadap apa yang membuat mereka tidak mau bereksperimen dengan narkoba. Mulai dari "takut masuk neraka" atau "takut Tuhan marah" sampai ke keyakinan remaja bahwa "narkoba itu kan dosa".

Dasar iman pada diri remaja adalah salah satu faktor protektif terandal. Iman diyakini remaja dapat membawa mereka kepada keluhuran budi dan moralitas. Remaja mengakui kesetiaan mereka terhadap iman yang mereka pilih membawa sejahtera dan damai di hati. Ini adalah hal pribadi yang tidak dapat dipungkiri. Memang, kebenaran yang didasari iman itu akan tertanam dalam hati kita dan kelak menjadi lentera yang menerangi jalan ketika kita menghadapi tantangan dan pilihan dalam hidup.

Tingkat spiritual ini tentunya menjadi pedoman bagi remaja untuk membuat pilihan-pilihan bijaksana mulai dari dunia online sampai kepada pilihan mengenai narkoba.

Sebagian besar remaja tahu membedakan yang baik dan buruk karena mereka memiliki faktor protektif alami dalam diri mereka. Selama mereka tidak mengeraskan hati dan memungkiri kebenaran yang tertulis di hati mereka, harapan untuk Indonesia bebas narkoba masih ada.

Oleh karena itu, Pusat Pencegahan Badan Narkotika Nasional, mengembangkan metode pencegahan yang diimplementasikan dengan kegiatan alternatif dalam bentuk olahraga atau berkesenian seperti teater, musik dan tari untuk mengasah kepekaan jiwa, rasa dan naluri. Dengan olah raga tentunya bisa mendorong mereka bergaya hidup sehat. Semua itu merupakan kegiatan alternatif yang bisa menjadi sarana bagi para remaja untuk tidak terjerat pada narkoba. Kegiatan alternatif sangat penting bagi anak-anak pelajar ataupun mahasiswa. Karena ini nantinya akan berkaitan dengan metode komunikasi dan informasi yang efektif tentang anti penyalahgunaan narkoba. (ai)

Komentar Anda

Belum ada Komentar

Login untuk mengirim komentar, atau Daftar untuk membuat akun, gratis dan proses nya hanya 2 menit.