Narkotika Kejahatan Luar Biasa

dedihumas bnn

9 years ago

post-19
post-19

Ada beberapa indicator yang bisa menjelaskan betapa ganasnya kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika seperti yang kita ketahui bersama, merupakan kejahatan yang dikendalikan sindikat terorganisir dengan jaringan yang luas, bekerja sangat rapi, dan penuh kerahasiaan baik dalam level nasional maupun internasional.

Korban narkotika pun tidak pandang bulu, artinya semua lapisan bisa menjadi sasaran. Data menyebutkan, sedikitnya ada empat juta orang lebih yang terkena masalah narkotika dengan rentang usia 10-59 tahun. Artinya anak kecil hingga kakek-kakek pun tak luput dari serbuan sang barang haram.

Yang kian mengerikan lagi, kejahatan narkotika telah berkolaborasi dengan kejahatan super lainnhya seperti terorisme. Hal ini tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan negeri kita.

Kejahatan ini pun diakui PBB sebagai kejahatan paling serius dan berada dalam ranking pertama yang harus diwaspadai. Namun, di tengah isu pemberantasan yang begitu hebat, belakangan ini mulai hangat dibicarakan tentang RUU KUHP yang kabarnya akan memasukkan konten narkotika yang selama ini tak pernah muncul dalam KUHP. Nah ini cukup mengundang pro dan kontra baik terutama di kalangan pemangku kebijakan, penegak hukum dan praktisi hukum serta para pengamat kebijakan.

Jadi pada intinya, narkotika adalah kejahatan yang sangat luar biasa dan harus ditangani dengan luar biasa pula. Nah, untuk menangani narkotika yang begitu luar biasa jahatnya, maka sebenarnya telah ada UU No.35 Tahun 2009 tentang narkotika yang mengatur masalah narkotika dari a sampai z yang terangkum dalam 155 pasal.

Semua sudah lengkap dijelaskan, dari mulai pemberantasan hingga pengaturan bagaimana masyarakat bisa berperan serta dalam upaya penanggulangan. Semua sudah lengkap tertera. Dalam lampiran juga selalu update masalah golongan narkotika. Meski demikian, memang produk manusia tidak ada yang sempurna. Selalu ada celah dan kekurangan. Sempat muncul isu tentang perombakan UU narkotika ini, dan sampai saat ini masih dalam tahap persiapan.

Di tengah dinamika revisi, justru timbul wacana kodifikasi dalam RUU KUHP. Menurut berbagai sumber yang dihimpun oleh penulis, nantinya dalam RUU KUHP itu akan muncul aturan-aturan tentang narkotika.

Mengutip dari paparan Supardi, SH, MH, seorang analis di Direktorat Hukum BNN, sesuai RUU nantinya akan dilakukan pengadopsian pasal pasal dari UU 35/2009, yaitu pasal 111 sampai 129 menjadi pasal 507 sampai dengan 525 dengan rumusan pidana penjara yang sama akan tetapi denda lebih rendah.

Sementara itu pasal 130 sampai dengan pasal 148 tidak diadopsi. Dengan konsep yang seperti itu, maka dikhawatirkan tidak ada lagi pengaturan masalah demand reduction, undercover buy, controlled delivery, dan juga penyadapan yang mana hal ini sudah dibolehkan sesuai UN Convention Against Illicit Trafic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1997 dan UN Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU No.35/2009.

Menurut ibu Jane Mandagi, seorang pakar hukum narkotika yang juga anggota kelompok ahli BNN menyebutkan, dalam KUHP malah justru menggunakan istilah tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang mana tentu akan jauh sekali maknanya dengan peredaran gelap narkotika.

Selain itu pula, dalam RUU tersebut, tidak dijabarkan tentang penggolongan narkotika dan juga psikotropika. Nah, apa jadinya jika tidak ada pengaturan tersebut? Jenis narkotika yang sangat berbahaya yang diedarkan akan ditindak pidana ringan dong, karena tak ada penggolongan yang memberikan perbedaan.

Jadi, jika KUHP itu nantinya benar-benar mengadopsi masalah narkotika yang separuh-separuh akan timbul konsekuensi  ke depannya. Menurut Pak Supardi, ada sejumlah dampak antara lain:

Pertama, sifat khusus tindak pidana narkotika akan menjadi hilang. Kedua, kewenangan lembaga hukum terkait akan hilang atau melemah. Ketiga, pelemahan dalam upaya hukum. Keempat, muncul standar ganda dalam penanganan perkara narkotika karena ada sebagian yang diatur di UU 35/2009 dan sebagian lagi diatur dalam KUHP. Kelima, akan memberikan peluang kepada pelaku kejahatan narkotika untuk leluasa menjalankan aksinya karena peraturan (UU) yang lebih meringankan kepada pelaku tindak pidana. Keenam, modus operandi yang berkembang, jika daitur dalam KUHP maka akan sulit untuk dilakukan revisi sehingga UU terlambat mengatasi kejahatan yang berkembang pesat. Ketujuh, jenis narkotika dan psikotropika baru sebagai designer drug yang bertambah dengan pesat, sehingga jika dimasukan dalam KUHP akan sulit direvisi.

Mencermati paparan di atas, penulis sepakat, kejahatan narkotika itu luar biasa maka harusnya sudah saja diatur dengan UU yang khuusus bukan dengan KUHP yang umum.

Penulis tak bisa membayangkan ketika penanganan narkotika ini tak lagi menggunakan teknik-teknik luar biasa maka akan sulit sekali para penegak hukum untuk membongkar kasus.

Ya, ini tentu sangat beralasan sobat dedihumas. Kejahatan narkotika itu sulit dan khas karena boleh dikatakan penjajah tanpa wajah. Tidak ada ceritanya, orang yang jadi korban narkotika itu melaporkan, dan mengatakan keberadaan bandarnya. Ini sangat sulit ditemukan. Makanya banyak yang mengatakan kejahatan narkotika itu kejahatan yang victimless.

Petugas hukum harus menempuh cara-cara yang ekstra agar kejahatan narkotika itu bisa diungkap baik dengan cara undercover buy, controlled delivery dan juga penyadapan.

Jika semua teknik itu sudah tak lagi diatur, wajar saja jika para petugas hukum baik itu BNN dan juga Polri akan mengajukan keberatannya.

Sedikit mengulas tujuh dampak yang diprediksi di atas, penulis juga setuju karena pada intinya fenomena adopsi pasal narkotika pada KUHP jelas hanya akan memperlemah penegakkan hukum dan ketika hukum melemah maka pihak mafia narkoba akan semakin diuntungkan. Kita, masyarakat tentu tak ingin hal ini sampai terjadi.

Nah, ini harus jadi perhatian para legislator untuk kembali menghitung mana yang menguntungkan dan mana yang memberatkan para sindikat. Jangan sampai produk undang-undang yang lahir itu malah menguntungkan para bandar.

Harus ingat pada judul di atas, narkotika itu kejahatan yang luar biasa. Akan terdengar aneh, jika pengaturan hal yang extra ordinary tapi ditangani dengan cara general atau umum-umum saja.

Penulis juga mengutip kembali dari paparan yang disampaikan tentang konklusi dan rekomendasi dari fenomena yang sekarang sedang menghangat ini.

Pertama, meski dengan menggunakan asa lex specialis derogate legi generalis, yaitu penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum, pada hakikatnya UU 35/2009 tentang narkotika dan UU no.5/1997 tentang psikotropika tetap dapat dipertahankan. Maka saran yang paling realistis adalah menghapus semua pasal terkait narkotika dan psikotropika dalam RUU KUHP tersebut agar tidak membingungkan.

Penulis setuju memang, agar dihapuskan saja pasal narkotika yang ditempatkan dalam RUU KUHP, karena khawatir ini malah jadi standar ganda yang membingungkan.

Komentar Anda

Belum ada Komentar

Login untuk mengirim komentar, atau Daftar untuk membuat akun, gratis dan proses nya hanya 2 menit.